“Saya dulu sempat berpikir: kalau punya rumah liburan di Bali, bisa nggak ya nyewa sewaktu-waktu dan malah balik modal? Ternyata jawabannya kompleks — antara cuan dan headache ada jarak tipis.”
Sekarang ini, punya rumah kedua di tempat wisata premium jadi tren yang makin populer. Daerah-daerah kayak Bali, Lombok, atau kawasan pantai eksklusif lagi banyak diburu, soalnya selain pemandangannya cakep, arus turisnya juga nggak pernah benar-benar sepi. Buat banyak orang, konsep “second home indonesia” ini bukan cuma soal punya tempat buat liburan, tapi juga cara cerdas buat dapet penghasilan tambahan lewat sewa harian atau mingguan. Kalau dikelola dengan benar, hasilnya bisa lumayan banget — bahkan bisa ngalahin investasi konvensional. Tapi (ya, selalu ada “tapi”) ada banyak faktor yang perlu dicermati: durasi sewa efektif, permintaan turis musiman, biaya pemeliharaan, regulasi kepemilikan, hingga estimasi return on investment (ROI) riil.
Dalam artikel ini, kita akan kupas tuntas potensi keuntungan dan juga risiko dari rumah kedua di destinasi premium — terutama aspek-aspek yang sering dilupakan. Kita akan memakai contoh Bali sebagai studi kasus, tapi prinsipnya bisa diterapkan ke destinasi wisata elit di Indonesia secara lebih luas.
Mengapa “destinasi premium” menarik?
Sebelum masuk detail angka, mari pahami kenapa pasar “second home di destinasi premium” punya daya tarik tersendiri:
- Permintaan yang relatif stabil & naik
Destinasi premium seperti Bali terus jadi magnet wisata domestik dan internasional. Setelah pandemi, wisatawan mengalir kembali, bahkan meningkat dibanding sebelum pandemi. - Harga properti premium yang cenderung naik
Lokasi strategis, pemandangan alam, fasilitas mewah — semua elemen ini membuat harga tanah dan bangunan di tempat wisata premium umumnya tumbuh lebih cepat dibanding area biasa. - Diferensiasi produk & branding
Dibanding properti biasa, rumah liburan bisa dipasarkan sebagai pengalaman, bukan sekadar akomodasi — misalnya kolam pribadi, view sawah / laut, atmosfer “staycation mewah”. - Dual benefit: investasi + gaya hidup
Pemilik bisa sendiri memakai rumah itu ketika sedang liburan, bukan cuma sebagai mesin penghasil uang.
Tapi kesempatan besar datang dengan tantangan besar. Mari kita selami aspek-aspek penting.
Durasi Sewa Efektif & Tingkat Hunian (Occupancy Rate)
Salah satu kunci utama dalam menghitung potensi pendapatan dari rumah liburan adalah: berapa lama properti itu bisa disewa secara efektif dalam setahun (durasi kosong vs terisi). Bahkan rumah yang tampak indah di brosur bisa bolong banyak jika tidak dikelola dengan baik.
Faktor yang memengaruhi durasi sewa
- Musiman / high season vs low season
Destinasi wisata punya musim “puncak” (peak) dan “lesu” (off-peak). Di Bali, misalnya musim liburan sekolah, hari raya, dan libur panjang domestik sering menjadi puncak permintaan. Off-peak bisa cukup tajam penurunannya. - Lokasi & aksesibilitas
Rumah di dekat pantai populer, transportasi mudah, fasilitas umum (warung, supermarket, restaurant) akan lebih cepat disewa. Sebaliknya rumah terpencil meski pemandangannya bagus, bisa sulit ditemukan oleh tamu. - Fasilitas & nilai tambah
AC, kolam renang, WiFi cepat, dapur lengkap, kebersihan bagus, layanan kebersihan & keamanan menjadi pembeda. Rumah liburan yang kelihatan “murah tapi nyusahin” sering ditinggalkan ulasan buruk. - Harga sewa / positioning
Jika harga terlalu tinggi relatif ke kompetitor sejenis, hunian bisa rendah. Jika terlalu murah, margin tertinggal. - Pemasaran & manajemen properti
Listing di platform seperti Airbnb, Booking.com, Agoda, atau lewat agen lokal bisa sangat memengaruhi exposure. Manajemen properti (cek-in, kebersihan, respons tamu) juga penting agar tamu puas dan memberikan ulasan bagus.
Statistik & praktis
Dalam praktik di Bali, ada laporan bahwa investor properti bisa mencapai yield tahunan antara 8–12% di lokasi premium. Beberapa properti unggulan diklaim mencapai ROI hingga 18% jika semua variabel ideal.
Kalau kita ambil contoh sederhana:
- Misal rumah liburan bisa disewa rata-rata 200 hari dalam setahun (sekitar 55%).
- Tarif rata-rata per malam: misal $150 atau Rp 2,5 juta (tergantung tempat, fasilitas).
- Pendapatan kotor = 200 × Rp 2,5 juta = Rp 500 juta/tahun.
- Kalau udah dipotong biaya (operasional, pemeliharaan, manajemen, pajak), mungkin tinggal 60% bersih = Rp 300 juta per tahun.
- Jika modal investasi (tanah + bangunan + perizinan) Rp 3 miliar, maka keuntungan bersih 300 juta setara ~10% per tahun — cukup menarik dibanding instrumen lain.
Tapi ini asumsi agresif. Banyak properti yang kenyataannya durasi sewa efektif cuma 100–150 hari saja, tergantung lokasi & reputasi.
Catatan pribadi: saya pernah mengelola rumah liburan di pinggir pantai (bukan di Bali) dan durasi sewa lebih sering “kosong” di hari kerja biasa. Akhirnya saya menyesuaikan harga mid-week lebih murah agar tetap ada okupansi. Ini tip yang mungkin berguna.
Permintaan Turis & Segmentasi Pasar
Potensi sewa sangat tergantung pada profil tamu yang datang. Ada perbedaan besar antara wisatawan domestik dan mancanegara, antara tamu keluarga dan pasangan muda, antara tamu liburan pendek (weekend) dan workcation panjang.
Segmentasi tamu
- Wisatawan asing (internasional)
Umumnya punya daya beli lebih tinggi, cenderung mencari akomodasi mewah & pengalaman unik. Tapi mereka juga lebih sensitif terhadap regulasi (bebas visa, pembatasan) dan biaya (transportasi, pajak). - Wisatawan domestik
Jumlah lebih besar, fleksibel, dan sering menyewa di periode liburan nasional / sekolah. Tarif mereka mungkin lebih rendah dari wisatawan asing, tapi volume bisa jadi stabil di low season. - Workcation / digital nomad
Tren baru: tamu yang bekerja secara remote namun ingin suasana tropis. Mereka cenderung tinggal lebih lama (minggu–bulan) dan mencari kenyamanan (WiFi cepat, ruang kerja, kenyamanan). Jika properti bisa men-target segmen ini, durasi sewa bisa lebih tinggi. - Kelompok & keluarga atau rombongan
Properti besar dengan 3−5 kamar atau vila dengan ruang tamu luas cenderung menarik tamu kelompok / keluarga. Mereka rela membayar lebih agar bisa tinggal bersama.
Tren permintaan & risiko eksternal
- Krisis ekonomi global atau fluktuasi mata uang bisa mempengaruhi jumlah wisatawan asing.
- Bencana alam (banjir, gempa, erupsi) atau pandemi bisa mendadak menurunkan kunjungan.
- Kebijakan pemerintah: pembatasan wisata, moratorium pembangunan hotel/vila baru, pembatasan izin sewa jangka pendek. Contoh: Bali berencana moratorium pembangunan hotel/villa di beberapa area untuk mengendalikan overdevelopment.
- Regulasi lokal yang memberi batasan zonasi, perizinan penyewaan harian, atau pajak tambahan bagi akomodasi jangka pendek.
Sebagai investor, penting memetakan “profil tamu jangka panjang” agar tak bergantung satu segmen saja.
Biaya Pemeliharaan & Biaya Lain yang Sering Terlupakan
Banyak investor tergoda jumlah pendapatan kotor, tapi lupa memasukkan semua biaya yang ‘nyuri’ margin. Berikut daftar biaya utama yang harus diperhitungkan:
- Kebersihan / housekeeping / laundry
Bersih-bersih rutin antar tamu, ganti linen, cuci, setrika. - Perawatan rutin & perbaikan
AC rusak, pompa kolam, pengecatan, taman, plumbing, listrik. - Utilitas
Listrik, air, internet, telekomunikasi, keamanan. - Manajemen properti
Jika memakai jasa manajemen (check-in/out, booking, marketing) biasanya biaya ~15-30% dari pendapatan. - Asuransi & keamanan
Asuransi bangunan, properti, perlindungan bencana (jika tersedia), sistem keamanan / CCTV / penjaga. - Pajak & bea
Pajak penghasilan (jika properti menghasilkan pendapatan), pajak bumi & bangunan (PBB), retribusi lokal, pajak hotel / akomodasi jika dipungut lokal. - Biaya izin & legal
Perizinan lokal, izin hotel/Villa (jika diwajibkan), biaya notaris, pengurusan sertifikat, perpanjangan izin. - Biaya “kamuflase / buffer”
Hari kosong tak terisi, tamu bermasalah, renovasi mendadak — selalu alokasikan buffer dana cadangan tahunan, misalnya 5–10% dari pendapatan kotor.
Sebagai ilustrasi, jika pendapatan kotor rumah liburan Rp 500 juta, biaya operasional total bisa mencapai 30–50% atau lebih tergantung efisiensi. Jika manajemen jelek atau lokasi jauh, beban bisa lebih besar.
Sedikit cerita: dulu saya pernah nyewa kontraktor lokal buat benerin atap yang bocor. Eh, ternyata pengerjaannya molor dan biayanya malah jadi dua kali lipat dari perkiraan awal. Sejak kejadian itu, saya selalu nyiapin dana cadangan khusus buat hal-hal tak terduga kayak gitu.
Aturan Kepemilikan dan Investor Asing di Indonesia
Buat investor asing, bagian paling bikin pusing dari investasi properti di Indonesia biasanya soal aturan kepemilikan lahan. Kalau nggak paham sistem hukumnya dari awal, risikonya bisa lumayan besar — mulai dari urusan legalitas yang ribet sampai potensi kehilangan hak atas properti yang udah dibeli.
Opsi kepemilikan properti di Indonesia untuk asing
- Hak Milik (Freehold) — hanya untuk warga negara Indonesia. Asing tidak bisa memiliki “Hak Milik” langsung atas tanah.
- Hak Pakai (Right to Use / Hak Pakai) — hak ini memungkinkan orang asing (dengan izin tinggal) menggunakan lahan selama periode tertentu. Beberapa properti bisa dibeli dengan skema ini.
- Hak Guna Bangunan (HGB / Right to Build) — di mana suatu perusahaan (termasuk PT PMA, perusahaan asing) memiliki hak untuk membangun dan menggunakan bangunan di lahan selama jangka waktu tertentu (biasanya 30 tahun yang dapat diperpanjang hingga 80 tahun).
- Hak Sewa (Leasehold / sewa lahan) — asing menyewa lahan dari pemilik lokal dalam jangka waktu tertentu, kemudian membangun atau menyewakan bangunan atas lahan tersebut. Perlu diperhatikan klausul perpanjangan, warisan, dan hak jual beli dalam perjanjian sewa.
Contoh praktis: seorang investor asing bisa mendirikan PT PMA dan membeli tanah melalui HGB di atas PT PMA, lalu menggunakan bangunan sebagai vila sewa.
Second Home Visa dan kaitannya dengan properti
Pemerintah Indonesia telah memperkenalkan Second Home Visa sebagai jalur tinggal jangka panjang hingga 10 tahun bagi investor dan pemilik properti. Visa ini memberi kemudahan tinggal tanpa harus memperbarui visa pendek-pendek, dan menjadi insentif bagi orang asing untuk memiliki “second home” di Indonesia.
Contoh syarat: bukti dana minimal Rp 2 miliar (atau properti senilai setara) sebagai investasi minimal. Namun penting dicatat: visa ini tidak memberi izin kerja di Indonesia, hanya izin tinggal dan investasi / kepemilikan properti.
Risiko regulasi & perubahan kebijakan
- Pemerintah lokal bisa menerapkan pembatasan baru terhadap akomodasi sewa harian, termasuk zonasi dan peraturan lingkungan.
- Bali misalnya mempertimbangkan moratorium pembangunan hotel/villa baru di area tertentu guna mencegah overdevelopment.
- Kebijakan ban terhadap pembangunan fasilitas komersial di lahan produktif (sawah) mulai diberlakukan di Bali setelah banjir parah.
- Perubahan tarif pajak, regulasi pariwisata lokal, atau perubahan kebijakan izin sewa jangka pendek bisa mempengaruhi profitabilitas tiba-tiba.
Jadi sangat penting memonitor regulasi lokal secara berkala dan punya “exit plan” bila situasi berubah.
Estimasi Return on Investment (ROI) & Kelayakan Finansial
Bagian ini adalah inti dari keputusan: apakah investasi second home di destinasi premium benar-benar menguntungkan?
Langkah menyusun estimasi ROI sendiri
- Hitung total modal awal (CapEx)
- Biaya tanah (atau sewa lahan jangka panjang)
- Biaya bangunan (konstruksi, finishing, interior)
- Biaya legal, perizinan, arsitek / konsultan
- Biaya furnishing & dekorasi
- Biaya pemasaran awal
- Proyeksikan pendapatan sewa tahunan kotor
(Tarif rata-rata × hari terisi) - Kurangi semua biaya operasional tahunan (OpEx)
Seperti yang dibahas di bagian Biaya Pemeliharaan - Pendapatan bersih tahunan (Net Operating Income / NOI)
- ROI = (Pendapatan bersih / modal awal) × 100%
- Payback period
Waktu yang dibutuhkan agar pendapatan bersih kumulatif menutup modal awal.
Contoh simulasi
Misalnya kita punya properti di Bali:
- Modal awal total (tanah + bangunan + izin + furnitur): Rp 5 miliar
- Proyeksi tarif: Rp 3 juta / malam
- Hari terisi: 180 hari
- Pendapatan kotor = 180 × 3.000.000 = Rp 540 juta
- Biaya operasional (30%): ~ Rp 162 juta
- Pendapatan bersih = ~ Rp 378 juta
- ROI ≈ 378 / 5.000 × 100% = 7,56%
- Payback period ≈ 5.000 / 378 = ~13,2 tahun
Jika properti ditempatkan di lokasi top dan okupansi lebih tinggi (misal 220 hari), atau tarif bisa naik, ROI bisa mendekati 10–12%. Beberapa klaim investor “premium” menyebut ROI hingga 18%.
Tapi realistisnya, investor harus mempertimbangkan tahun pertama mungkin lebih rendah karena brand baru, pemasaran, masalah operasional.
Sensitivitas & skenario
- Jika hari terisi hanya 120 hari: pendapatan kotor turun drastis, ROI bisa anjlok ke 4–5%.
- Jika biaya operasional melonjak (misal listrik, perbaikan), margin bisa menyusut tajam.
- Jika tarif sewa harus diturunkan untuk kompetisi, pendapatan bisa stagnan.
- Jika regulasi menekan sewa harian atau mengenakan pajak tambahan, margin tergerus.
Sebaiknya buat beberapa skenario: “optimis”, “realistis”, dan “konservatif” agar Anda punya gambaran risiko.
Strategi Memaksimalkan Keuntungan Second Home
Berikut beberapa strategi praktis agar investasi rumah liburan Anda makin optimal:
- Fokus ke tamu workcation / tinggal panjang
Tamu yang tinggal 7–30 hari atau lebih bisa lebih stabil daripada tamu satu-dua malam. Kurangi frekuensi check-in/out. - Dynamic pricing (harga dinamis)
Naikkan tarif saat musim puncak, turunkan sedikit untuk isi hari kerja, diskon untuk booking panjang. - Branding & pengalaman unik
Aktivitas tambahan (tur privat, kelas memasak, paket romantis), desain estetis, storytelling lokal — ini bisa membuat properti berbeda dari kompetitor. - Manajemen profesional
Gunakan jasa manajemen properti lokal handal agar operasional rapi dan tinggalkan Anda tidak repot. - Renovasi & pembaruan berkala
Agar tidak kalah zaman, ganti perabot, finishing, cat, teknologi (smart home) agar tetap relevan. - Menjaga reputasi & review positif
Ulasan bagus memengaruhi pemesanan selanjutnya. Tanggapi keluhan cepat, pastikan kebersihan & layanan bagus. - Diversifikasi kanal pemasaran
Jangan hanya bergantung satu platform; gunakan OTA (Booking, Airbnb), agen lokal, media sosial, website sendiri. - Buffer & cadangan dana
Sisihkan dana darurat untuk perbaikan mendadak, hari kosong, atau kejatuhan pasar.
Studi Kasus / Contoh Nyata (Bali & Sekitarnya)
Beberapa contoh di Bali menunjukkan bahwa properti premium di spot seperti Canggu, Seminyak, Ubud, Ungasan atau kawasan tepi pantai sering mencatat okupansi tinggi dan tarif premium.
Misalnya, ada investor yang membeli vila di Canggu (3 kamar, kolam & taman) lewat skema leasehold dan kemudian menyewakannya rata-rata 200 hari per tahun dengan tarif ~USD 150 per malam — menghasilkan ROI lebih dari 10%.
Tapi saya juga mendengar kasus kurang sukses: seseorang membeli vila di area agak terpencil (akses jalan jelek) dan ternyata tamu lebih memilih vila-mewah di dekat pantai, sehingga okupansi rendah dan akhirnya dijual rugi.
Risiko & Tantangan yang Harus Diwaspadai
- Fluktuasi ekonomi global / krisis keuangan
- Bencana alam / perubahan iklim (banjir, longsor, abrasi pantai)
- Perubahan regulasi lokal / kebijakan pemerintah
- Persaingan meningkat / overdevelopment
- Kesalahan manajemen / operasional lemah
- Kasus sengketa lahan / legalitas tidak clear
Dengan demikian, jangan pernah investasi “asal” — riset lokasi, regulasi, reputasi pihak lokal, dan punya dana cadangan.
Rekomendasi Lokasi & Tips Memilih Rumah Kedua di Destinasi Premium
- Pilih lokasi yang sudah punya nama
Canggu, Seminyak, Ubud, Nusa Dua, Jimbaran, Lombok senggigi / Gili, atau destinasi premium baru yang tumbuh (misal Labuhan Bajo, Mandalika). - Pastikan akses & infra memadai
Jalan bagus, sinyal & internet kuat, fasilitas publik dekat. - Cek zonasi & izin lokal
Pastikan properti diperbolehkan untuk sewa harian / komersial. - Jangan terlalu jauh dari pusat aktivitas
Meski view bagus, jika jauh dari restoran / pasar / transportasi, tamu bisa enggan. - Evaluasi potensi kenaikan nilai jangka panjang
Lokasi baru yang sedang naik bisa punya upside besar. - Mulai dari properti kecil dulu
Jika baru pertama, coba 2–3 kamar dulu untuk uji kelayakan sebelum ekspansi.
Catatan Pajak & Keuangan
- Jika Anda adalah orang asing yang menghasilkan pendapatan dari properti di Indonesia, pajak penghasilan (PPh) atas pendapatan sewa bisa berlaku.
- PBB (Pajak Bumi & Bangunan) tetap berlaku.
- Ada kemungkinan ada pajak hotel / akomodasi lokal (tergantung daerah) yang belum dijumlahkan.
- Jika Anda tinggal di Indonesia lebih dari ambang tertentu, bisa dianggap sebagai “residen pajak” dan global income bisa terkena pajak. Sebaiknya konsultasikan dengan konsultan pajak lokal. (Lihat aturan pajak Indonesia)
Kesimpulan & Ajakannya (CTA)
Membangun atau membeli rumah kedua (second home) di destinasi premium seperti di Bali memang menyimpan potensi keuntungan yang menarik: pendapatan sewa, apresiasi nilai properti, dan gaya hidup yang menyatu dengan investasi. Namun, keberhasilan tidak datang dari mimpi saja — butuh riset detail, manajemen yang tepat, modal yang cukup, dan kesiapan menghadapi risiko.
Jika Anda serius melihat rumah liburan Bali atau second home Indonesia sebagai bagian dari portofolio properti Anda, berikut langkah praktis yang bisa Anda ambil:
- Lakukan studi kelayakan di lokasi pilihan (cek permintaan sewa, tarif, okupansi, kompetitor)
- Konsultasikan regulasi lokal (izin sewa harian, zonasi, pajak)
- Siapkan skema kepemilikan legal (Hak Pakai, HGB lewat PT PMA, leasehold)
- Kalkulasi semua biaya dan proyeksikan ROI realistis
- Pilih manajemen properti profesional & rencana cadangan
Kalau kamu tertarik, saya bisa bantu riset khusus untuk destinasi premium tertentu (misalnya Bali, Lombok, Labuan Bajo) termasuk estimasi ROI lokal dan daftar properti potensial. Mau saya cari untuk destinasi mana dulu?
Baca juga artikel lainnya: