Pendahuluan
Pernah nggak kamu membayangkan tinggal hanya beberapa langkah dari stasiun MRT, lalu tinggal jalan kaki, naik sepeda atau skuter listrik ke stasiun, lalu langsung ke pusat kota atau tempat kerja? Gaya hidup seperti ini—yang kita sebut transit-oriented living—semakin relevan di kota-kota besar di Indonesia yang menghadapi kemacetan, polusi, dan tantangan urbanisasi.
Dalam artikel ini saya pengin mengajak kamu menyelami konsep Transit-Oriented Development (TOD) dan bagaimana keuntungan tinggal di sekitar stasiun/MRT itu bisa nyata: dari kemudahan mobilitas, penghematan waktu, akses ke fasilitas hingga peningkatan kualitas hidup. Kita juga akan memakai studi kasus dua kota Indonesia: Jakarta dan Bandung, melihat apa yang sudah berjalan, tantangannya, dan peluang ke depan. Ada juga catatan kecil pengalaman pribadi, agar terasa lebih “hidup” bukan sekadar teori.
Apa itu Transit-Oriented Development (TOD) dan Transit-Oriented Living

Pengertian dasar
Transit-Oriented Development (TOD) secara umum adalah area di sekitar sebuah stasiun transit (kereta, MRT, LRT, BRT) yang dirancang supaya integrasi antara moda transportasi, pejalan kaki, sepeda, hunian, dan aktivitas (perkantoran, ritel, layanan publik) berjalan mulus. Dengan demikian, transit-oriented living adalah gaya hidup yang memanfaatkan lingkungan TOD: tinggal dekat stasiun, mengandalkan transportasi umum sebagai mobilitas utama, mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi.
Elemen kunci TOD
Biasanya TOD ditandai dengan beberapa karakter, antara lain:
- Kepadatan yang memadai (density): banyak orang tinggal atau bekerja di sekitar stasiun.
- Keanekaragaman fungsi lahan (diversity): hunian + perkantoran + ritel + layanan dalam radius dekat.
- Desain yang mendukung pejalan kaki dan sepeda (design/ walkability).
- Akses langsung ke moda transit (accessibility).
- Transit sebagai pusat aktivitas bukan pinggiran.
Kenapa “living” di dekat stasiun menarik?
Ada banyak keuntungan praktis:
- Waktu perjalanan ke pusat kota bisa dipangkas signifikan → lebih banyak waktu untuk hal lain.
- Biaya kendaraan pribadi (bensin, parkir, perawatan) bisa dikurangi.
- Mobilitas lebih lancar, terutama jika integrasi antara moda sudah baik.
- Lingkungan sekitar cenderung lebih aktif — ada ritel, cafe, taman, layanan— karena banyak orang lewat.
- Potensi nilai properti naik karena lokasi strategis.
- Gaya hidup bisa lebih “sehat” karena berjalan kaki atau naik sepeda jadi opsi.
- Selain itu, untuk kota dengan polusi dan kemacetan, tinggal dekat transit bisa jadi solusi yang lebih ramah lingkungan.
Sebagai catatan pribadi: suatu saat saya pindah ke sebuah kawasan yang agak jauh dari stasiun. Setiap pagi harus naik motor 10-15 menit ke stasiun, lalu naik kereta. Saat kembali, kadang macet pulang dari stasiun karena jalan menuju rumah kurang baik. Bayangkan kalau stasiun itu cuma 2-3 menit jalan kaki dari rumah — banyak stress dan waktu terbuang bisa dihindari.
Keuntungan Tinggal di Sekitar Stasiun/MRT

Mari kita rinci keuntungan-keuntungannya, dengan ilustrasi agar terasa nyata.
1. Waktu perjalanan (travel time) berkurang
Dengan tinggal dekat stasiun/MRT, kamu bisa meminimalkan waktu yang “terbuang” di jalan, macet atau mencari parkir.
Contoh: di Jakarta, jika tinggal dekat stasiun MRT kecenderungan perjalanan ke pusat bisnis bisa lebih cepat dibanding tinggal jauh dan memakai mobil pribadi. Penelitian TOD menunjukkan bahwa satu elemen penting adalah “akses dengan berjalan kaki ke stasiun” (walkable access). Waktu yang tadinya terbuang bisa dialihkan ke aktivitas lain: olahraga pagi, kopi santai, baca buku, waktu sama keluarga.
2. Penghematan biaya kendaraan pribadi
Biaya kendaraan pribadi tidak hanya bensin — ada parkir, servis, waktu yang terbuang, stres macet. Tinggal dekat stasiun memberi opsi lebih murah: naik transit.
Misalnya, daripada bayar parkir harian mahal di pusat kota, Anda tinggal jalan kaki ke stasiun. Ini sangat relevan untuk pekerja kantoran di kawasan bisnis.
3. Peningkatan akses ke fasilitas kota
Ketika kamu tinggal dekat stasiun, lingkungan sekitar cenderung mendapat perhatian lebih: trotoar diperbaiki, akses pejalan kaki ditingkatkan, ritel dan kafe tumbuh.
Sebagai contoh, di Jakarta beberapa stasiun TOD direncanakan disertai ruang publik, taman, fasilitas pendukung.
Jadi bukan hanya “akses transportasi” tapi lengkap: fasilitas hidup sehari-hari lebih dekat.
Baca juga: Kawasan Berorientasi Transit (TOD)
4. Potensi nilai properti naik
Lokasi strategis itu mahal. Makanya, rumah/apartemen dekat stasiun dan akses transit sering mempunyai nilai lebih tinggi.
Namun, catatan: jika tidak diatur dengan baik, bisa muncul risiko “gentrifikasi” atau kenaikan harga yang membuat masyarakat asli terdesak. Misalnya di Jakarta disebutkan bahwa meskipun RTRW mengamanatkan 20% housing terjangkau di kawasan TOD, implementasi masih tantangan. Tapi sebagai penduduk yang berpikir investasi jangka panjang, tinggal dekat stasiun jelas menjadi pertimbangan.
5. Lingkungan hidup dan gaya hidup lebih sehat
Mobilitas yang bergantung pada transit, berjalan kaki dan sepeda otomatis mendukung pola hidup aktif.
Studi di Dukuh Atas—Jakarta menunjukkan bahwa intervensi TOD telah signifikan meningkatkan walkability (kemudahan pejalan kaki) di beberapa zona.
Bayangkan: bangun pagi, jalan kaki ke stasiun, naik kereta sambil baca buku, turun stasiun lalu jalan ke kantor atau ke kafe—daripada terjebak macet di mobil.
Baca juga: Komunitas Perumahan – Manfaat & Strategi Bergabung agar Hidup Lebih Nyaman
6. Mengurangi ketergantungan kendaraan pribadi → lingkungan lebih baik
Dengan semakin banyak orang memilih transit, potensi kemacetan, polusi udara dan penggunaan lahan parkir bisa diminimalkan. Konsep TOD memang salah satu strategi kota dalam pengembangan kota berkelanjutan.
Bagi kamu yang peduli lingkungan, tinggal dekat transit adalah bagian dari gaya hidup ramah kota.
7. Fleksibilitas gaya hidup
Hunian dekat stasiun menawarkan fleksibilitas: mudah akses pusat kota, mudah pergi ke area hiburan, mudah pindah moda.
Misalnya, pergi ke tempat nongkrong malam atau ke kereta menuju bandara bisa lebih gampang. Gaya hidup kamu jadi “terhubung”.
Studi Kasus Indonesia: Jakarta
Jakarta sebagai ibu kota dengan kepadatan tinggi, kemacetan dan tantangan transportasi besar, menjadi titik penting untuk menguji konsep TOD. Berikut saya rangkum keadaan nyata, keberhasilan dan hambatannya.
Konsep TOD di Jakarta
PT MRT Jakarta menyebut bahwa kawasan berorientasi transit (TOD) adalah area yang dirancang untuk mengintegrasikan fungsi transit dengan manusia, kegiatan, bangunan dan ruang publik yang bertujuan untuk mengoptimalkan akses terhadap transportasi publik.
Master plan MRT Jakarta yang disusun oleh SOM misalnya mencakup pengembangan penggunaan lahan campuran (mixed-use), perkuat ruang publik, dan konektivitas antarmoda.
Contoh nyata: Dukuh Atas TOD
Salah satu yang paling dibicarakan adalah kawasan Dukuh Atas TOD di perbatasan Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan (antara Sudirman-Blora area). Di sini stasiun MRT, KRL Commuterline, Airport Rail Link, TransJakarta, dan LRT direncanakan terhubung dalam satu kawasan.
Studi menunjukkan bahwa setelah intervensi TOD, walkability meningkat meski masih banyak trotoar yang belum aksesibel untuk semua.
Indeks TOD di stasiun-MRT Jakarta
Penelitian “Characteristics of Transit Oriented Development Area: Case Study Jakarta MRT” mengukur TOD Index untuk tiap stasiun MRT Jakarta berdasarkan kriteria density, diversity, access, ekonomi, fasilitas, dll. Hasilnya: variasi besar antara stasiun. Misalnya, Stasiun Bendungan Hilir indeks tertinggi (~0.71), sementara Lebak Bulus paling rendah (~0.31) di antara stasiun MRT fase-1.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun stasiun fisiknya ada, lingkungan sekitarnya belum selalu mendukung karakter TOD secara penuh.
Keuntungan bagi penduduk Jakarta
- Pekerja yang tinggal di sekitar stasiun MRT bisa menghemat waktu dan stres perjalanan.
- Lingkungan di beberapa area TOD mulai diperbaiki — trotoar, ritel, ruang terbuka.
- Akses ke pusat kota, atau ke area bisnis misalnya Sudirman/Thamrin, bisa lebih lancar.
- Potensi hunian di sekitar stasiun menjadi pilihan alternatif daripada pinggiran jauh yang macet.
Tantangan dan catatan pribadi
- Integrasi moda belum sempurna. Kadang kamu harus naik angkot atau ojek online ke stasiun karena akses pejalan kaki belum baik.
- Biaya properti di kawasan TOD bisa naik cepat → risiko menggusur penduduk lama atau membuat hunian jadi tidak terjangkau. Sebagaimana di Jakarta disebutkan bahwa walaupun RTRW DKI mengamanatkan 20 % hunian terjangkau di kawasan TOD, realisasinya sulit.
- Sebagai contoh pengalaman saya, saya pernah tinggal dekat stasiun namun trotoar pulang-pergi ke rumah cukup buruk—jadi meskipun dekat secara jarak, kenyamanan tetap tertinggal. Ini menunjukkan bahwa “jarak” saja tidak cukup, “kualitas akses” juga penting.
Proyek dan rencana ke depan
- Pemerintah kini berencana membangun hunian TOD di lahan milik KAI di Manggarai (Jakarta) dan Kiara Condong (Bandung) termasuk.
- Ekspansi MRT Jakarta dan proyek integrasi antarmoda sedang berjalan. Misalnya pembangunan jalur baru yang didanai Jepang.
Studi Kasus Indonesia: Bandung
Bandung, sebagai kota besar kedua di Indonesia dan wilayah metropolitan di Jawa Barat, juga mulai mengadopsi konsep TOD walaupun tahapannya masih awal dibanding Jakarta.
Status TOD di Bandung
- Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyatakan bahwa Kota Bandung telah ditetapkan sebagai pilot project pengembangan lahan dengan konsep TOD.
- Penelitian menunjukkan bahwa potensi lokasi TOD di Bandung belum banyak diatur secara terstruktur; rencana transportasi dan tata ruang belum secara optimal dijadikan dasar TOD.
- Salah satu proyek hunian yang mengusung konsep TOD adalah Podomoro Park Bandung di Buah Batu – diklaim sebagai “kawasan hunian modern pada kawasan hijau” yang dekat dengan stasiun Kiaracondong, terminal Leuwipanjang, gerbang tol.
Keuntungan tinggal dekat stasiun di Bandung
- Untuk warga Bandung yang kerja di kota atau bahkan lintas kota, tinggal dekat stasiun membuat mobilitas lebih fleksibel: kereta lokal Bandung Raya, rel cepat Jakarta-Bandung (KCJB) yang akan datang, potensi LRT metropolitan Bandung.
- Properti dekat stasiun cukup diminati ― misalnya ada rumah dijual dekat Stasiun Rancaekek, Stasiun Bandung.
Tantangan
- Infrastruktur transportasi massal di Bandung masih terbatas (belum banyak MRT/LRT operasional). Sehingga meskipun hunian dekat stasiun rel kereta, moda yang dapat dimanfaatkan belum seoptimal di Jakarta.
- Integrasi moda, akses pejalan kaki, dan kualitas lingkungan sekitar stasiun belum seragam.
- Harga tanah dan properti di dekat stasiun kadang naik tinggi, membuat hunian terjangkau menjadi tantangan.
Bagaimana Mengoptimalkan Transit-Oriented Living (Tips Praktis)
Agar tinggal dekat stasiun/MRT benar-benar memberikan manfaat, ada beberapa hal yang sebaiknya diperhatikan — baik oleh individu maupun pengembang/pemerintah.
Untuk calon penghuni
- Jarak ke stasiun sebenarnya: Idealnya dalam radius ± 400-800 m (sekitar 5–10 menit jalan kaki). Jika lebih jauh, manfaatnya menurun.
- Kualitas akses pejalan kaki / sepeda: Apakah trotoar aman, pencahayaan cukup, jalur sepeda tersedia, tidak banyak halangan? Jika akses buruk, maka “dekat” bisa terasa jauh.
- Integrasi moda: Apakah stasiun hanya kereta, atau ada juga feeder bus, TransJakarta, LRT? Semakin banyak moda, semakin fleksibel.
- Fasilitas harian di lingkungan sekitar: Apakah ada warung, kafe, supermarket, layanan kesehatan, taman? Lingkungan yang aktif membuat tinggal lebih nyaman.
- Rencana masa depan: Apakah kawasan stasiun akan dikembangkan lebih lanjut (misalnya rencana TOD, akses jalan, integrasi moda)? Jika ya, potensi nilai properti meningkat.
- Biaya dan anggaran: Properti dekat transit sering premium. Pastikan anggaran kamu nyaman, termasuk kenaikan biaya hidup yang mungkin terjadi (misalnya biaya sewa, pajak).
- Kesesuaian gaya hidup: Jika kamu suka mobilitas fleksibel, jalan kaki, naik kereta, maka cocok. Jika sangat tergantung mobil pribadi atau mobil barang banyak, mungkin tetap butuh parkir besar.
Untuk pengembang dan pemerintah
- Prioritaskan akses pejalan kaki dan sepeda dalam radius stasiun – karena akses inilah yang sering jadi penghambat.
- Pastikan tata ruang mengizinkan fungsi campuran (mixed-use) di sekitar stasiun: hunian + ritel + kantor + ruang publik.
- Sediakan moda feeder yang menghubungkan lingkungan sekitar ke stasiun agar radius catchment luas.
- Atur regulasi lahan untuk menjaga keberlanjutan sosial: misalnya syarat hunian terjangkau (affordable housing) di kawasan TOD agar tidak hanya untuk kelas menengah/atas. Seperti di Jakarta disebut bahwa meskipun ada peraturan 20% hunian terjangkau di area TOD, implementasi masih sulit.
- Fasilitasi integrasi antarmoda (kereta, bus, LRT, angkutan mikro). Contoh CSW–ASEAN TOD di Jakarta sebagai interchange hub antar moda BRT dan MRT.
- Kampanye gaya hidup dan edukasi masyarakat—agar masyarakat bisa benar-benar memanfaatkan transportasi publik dan berjalan kaki sebagai bagian dari pilihan hidup.
Catatan Pribadi dan Refleksi
Saya sendiri pernah tinggal di kota besar dan merasakan bagaimana “jarak kecil tapi akses buruk” bisa membuat frustasi. Suatu hari saya naik kereta menuju pusat kota, turun di stasiun yang sangat dekat dengan rumah (kurang dari 500 m). Tapi trotoar rumah ke stasiun rusak, sempit, tanpa penerangan, sering ada parkir motor di trotoar, dan saya akhirnya memilih naik ojek online daripada jalan kaki. Itu mengajarkan saya: tinggal dekat stasiun saja belum cukup; kualitas akses juga kunci.
Di sisi lain, teman saya yang tinggal di kawasan TOD di Jakarta (saya tak sebut nama) bercerita: “Bangun pagi, jalan kaki ke stasiun, naik MRT sambil baca buku, turun di Senayan, jalan ke kantor… kalau naik motor dulu bisa macet 30-45 menit tiap hari, sekarang waktu perjalanan cuma 15-20 menit.” Cerita itu bikin saya makin yakin bahwa transit-oriented living bukan sekadar jargon, tapi bisa cukup nyata.
Tapi saya juga sadar – gaya hidup ini bukan untuk semua orang. Jika kamu punya banyak barang, atau punya anak kecil yang harus diantar antar mobil sendiri setiap hari ke tempat tidak dekat stasiun, atau hobby punya dua mobil, maka tinggal di dekat stasiun mungkin bukan “kepak” cocok tanpa kompromi.
Tantangan yang Perlu Diketahui
Tak semua hal di TOD sempurna—ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi:
- Kenaikan harga lahan dan properti: petak dekat stasiun menjadi premium, bisa mendorong harga naik cepat—ini bisa merugikan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Contoh: di Jakarta disebut risiko bahwa kawasan global city bisa memperburuk ketimpangan jika tidak hati-hati.
- Akses pejalan kaki yang belum optimal: hanya karena stasiun dekat secara fisik, bukan berarti rute antar hunian-stasiun nyaman atau aman untuk berjalan kaki atau naik sepeda.
- Integrasi moda belum sempurna: kalau kamu harus turun dari MRT kemudian naik angkot atau kendaraan lain yang aksesnya buruk, maka keunggulan transit bisa hilang.
- Pengelolaan ruang publik dan aktivitas sekitar: kalau lingkungan di sekitar stasiun sepi setelah jam kerja atau fasilitasnya terbatas, maka tinggal dekat stasiun bisa terasa kurang hidup.
- Ketidaksesuaian tata ruang / regulasi: di beberapa kota, regulasi tata ruang, izin pembangunan, dan integrasi lahan belum dioptimalkan untuk TOD. Contoh di Bandung: rencana transportasi ada, tapi lokasi TOD belum jelas dan tata ruang belum dijadikan dasar.
Peluang di Masa Depan

Melihat perkembangan infrastruktur dan urbanisasi di Indonesia, peluang transit-oriented living makin besar:
- Pembangunan MRT / LRT / rel cepat semakin masif. Contoh: Jakarta baru mulai jalur baru MRT, pembiayaan Jepang.
- Kota-kota besar lain di Indonesia mulai mengadopsi TOD dan integrasi moda: Bandung, Surabaya, dan lain-lain.
- Teknologi transportasi (misalnya mobil listrik, skuter bersama, sistem berbagi sepeda) bisa melengkapi last-mile dari stasiun ke rumah.
- Kesadaran akan keberlanjutan lingkungan semakin meningkat — tinggal dekat stasiun semakin dianggap “pilihan pintar”.
- Pengembang properti mulai mengusung hunian TOD sebagai diferensiasi produk — contohnya Podomoro Park Bandung yang mencantumkan aspek TOD.
Baca juga: TOD, Solusi Rumah Bebas Macet
Ringkasan Keuntungan & Peringatan
Keuntungan utama
- Waktu perjalanan lebih cepat dan lebih pasti.
- Biaya kendaraan pribadi bisa disunat.
- Akses ke fasilitas kota lebih mudah.
- Lingkungan hidup yang lebih aktif dan sehat.
- Potensi nilai properti meningkat.
- Gaya hidup yang lebih fleksibel dan ramah lingkungan.
Peringatan penting
- Pastikan kualitas akses pejalan kaki/sepeda.
- Lihat integrasi moda — jangan hanya kereta.
- Harga properti bisa premium.
- Lingkungan sekitar stasiun harus aktif dan hidup, bukan sepi setelah kerja.
- Kebijakan tata ruang harus mendukung agar TOD tidak hanya “label” tapi nyata.
Kesimpulan
Transit-oriented living bukan sekadar tren hype properti; ia adalah jawaban praktis atas tantangan mobilitas kota besar: kemacetan, waktu terbuang, polusi, dan gaya hidup yang kurang sehat. Di Indonesia—terutama di kota seperti Jakarta dan Bandung—konsep TOD makin relevan. Tinggal dekat stasiun/MRT memberi banyak keuntungan: efisiensi, kenyamanan, aksesibilitas, gaya hidup lebih aktif, dan potensi investasi.
Namun demikian, tinggal dekat stasiun itu tidak otomatis jadi kualitas hidup tinggi—akses pejalan kaki, integrasi moda, lingkungan sekitar, regulasi, dan kebijakan sosial semuanya memainkan peran penting. Untuk kamu yang mempertimbangkan hunian di dekat stasiun, lakukan riset: lihat jarak, trotoar, moda, fasilitas, rencana kawasan. Untuk pemerintah dan pengembang, memastikan bahwa TOD bukan hanya stasiun dengan bangunan tinggi tapi benar-benar lingkungan yang mendukung manusia, aktivitas, dan mobilitas — itu kuncinya.
Secara pribadi saya optimis: jika dikelola dengan baik, transit-oriented living akan menjadi gaya hidup kota yang sangat menarik di Indonesia — bukan hanya untuk sebagian orang, tetapi bisa menjadi pilihan bagi banyak orang yang ingin hidup lebih praktis, aktif, dan terhubung.
Baca juga artikel lainnya: